Berikut ini kisah renungan mengenai seorang Putra Raja yang rela meninggalkan kemewahan untuk mendapatkan ridho dari Allah. Simak kisah lengkapnya.
Raja Harun ar-Rasyid mempunyai seorang anak laki-laki,
berusia hampir delapan belas tahun. Dia suka duduk bersama orang-orang saleh.
Dia sering mengunjungi kuburan dan menyapa orang mati sambil berkata:
"Engkau telah menjalani kehidupan yang fana. Engkau telah meninggalkan
dunia yang tidak memberikan kedamaian. Karena engkau sekarang sudah mencapai
kubur, aku hanya ingin mengetahui apa yang terjadi padamu dan
pertannyaan-pertanyaan apa yang harus kalian jawab." Anak khalifah terkenal
itu sering terdengar membawakan bait ini:
Aku merasa ngeri melihat prosesi penguburan setiap hari
Tangisan untuk si mayat sungguh sangat menyesakkanku
Suatu hari, dia mendatangi ayahnya yang sedang duduk bersama
para menteri dan pesuruhnya. Tubuh anak raja ini terbungkus kain kasar dan
mengenakan serban di kepalanya.
"Anak gila ini telah merendahkan Raja," bisik
pesuruhnya. Mereka lalu meminta Khalifah menegur anaknya agar mengubah
penampilannya. Khalifah berkata kepada anaknya, "Engkau benar-benar telah
merendahkanku, anakku." Anak itu tidak menjawab tetapi menunjuk kepada
seekor burung liar yang hinggap di dekat situ, dan berkata: "Demi Allah,
aku minta kamu datang dan hinggap di atas lenganku." Seketika itu juga,
burung itu terbang dan hinggap di atas lengannya. Lalu dia meminta burung itu
pergi, dan burung itu pun terbang kembali ke tempatnya.
Kemudian ia berkata kepada ayahnya: "Cara Ayahanda
mencintai dunia sungguh membuat aku malu dan aku sudah putuskan untuk berpisah
dengan Ayah." Sesudah mengucapkan ini, dia meninggalkan tempat itu. Dia
membawa sebuah Al-Quran. Tetapi beberapa saat sebelum dia pergi, ibunya memberi
sebuah cincin yang sangat berharga yang dapat dijual saat terdesak.
Dilangkahkannya kakinya menuju Basrah dan mulailah ia bekerja sebagai buruh.
Dia hanya bekerja seminggu sekali dan harus mencukupkan diri dengan pendapatan
satu hari untuk delapan hari. Dia memperoleh sekitar Rp 206 jika dirupiahkan
lebih sedikit untuk pekerjaannya dan tidak meminta lebih dari itu. Dia
membelanjakannya sangat sedikit, demi mempertahankan hidup.
Abu Amir Basri bercerita bahwa salah satu dinding rumahnya
telah runtuh dan dia sedang mencari seorang tukang batu untuk membangunnya
lagi. Dia melihat seorang pemuda tampan sedang duduk dan membaca Al-Quran.
"Maukah kau bekerja untukku?" dia bertanya kepada anak itu. "Ya,
aku mau. Manusia dilahirkan untuk mendapatkan nafkah dari keringatnya sendiri.
Apa yang dapat aku kerjakan untukmu?" Abu Amir berkata: "Aku
menginginkanmu bekerja mengaduk semen." "Baik, aku minta Rp 206 untuk
upah harianku, dan tidak bekerja selama waktu shalat." Abu Amir menerima
kedua syarat ini.
Sadar bahwa beban pekerjaan yang diselesaikan anak muda itu
tidak mungkin dikerjakan oleh sepuluh orang, Abu Amir memberikan Rp 412 lebih
banyak dari yang ditetapkan. Tapi, anak itu malah menolak dan pergi sesudah
mengambil jumlah yang telah disepakati.
Hari berikutnya, Abu Amir mencari lagi anak itu, tetapi ia
tidak menemukannya. Dia bertanya kepada setiap orang, apakah mereka dapat
menceritakan siapa gerangan anak muda itu. Seseorang memberitahunya:
"Pemuda itu hanya bekerja pada hari Sabtu."
Setelah menilai pekerjaan anak muda itu, Abu Amir begitu
terpikat sehingga rela menghentikan pekerjaannya selama seminggu. Pada hari
Sabtu, dia mulai mencari lagi anak itu. Dia melihatnya sedang membaca Al-Quran,
seperti kala itu. Dia menyalaminya dan bertanya apakah dia mau bekerja lagi
untuknya atas dasar persyaratan yang disepakati.
Karena heran dengan banyaknya pekerjaan yang diselesaikan
anak itu, Abu Amir menjadi penasaran dengan cara kerjanya. Ia pun mengintip
anak itu ketika sedang bekerja. Dia melihat dengan penuh keheranan bagaimana,
ketika anak itu merekatkan adukan di dinding, batu-batu yang ada di tanah
menyusun sendiri secara otomatis. Abu Amir meyakini bahwa anak muda itu
pastilah orang saleh, karena hanya orang sucilah yang memiliki kekuatan gaib
dalam pekerjaannya. Setelah anak muda itu selesai, Abu Amir memberinya tiga
rupee, tapi anak muda itu menolak menerimanya sembari menegaskan kalau dia tidak
membutuhkan uang tambahan. Dia mengambil uang satu rupee dan pergi.
Abu Amir menunggunya hingga hari Sabtu lagi. Tetapi kali
ini, setelah berusaha mencari, jejak anak ini tidak tampak. Dia menanyakan pada
beberapa orang, dan seorang laki-laki memberitahunya bahwa pemuda itu sedang
terbaring sakit di dalam hutan. Abu Amir mengajak lelaki itu mencari si pemuda.
Sampailah mereka di hutan. Abu Amir melihat anak muda itu
terbaring di atas tanah setengah sadar, berbantalkan sepotong batu bata. Dia
menyalaminya, tetapi tidak mendapat jawaban. Sekali lagi dia menyapanya, dan
pemuda itu membuka matanya seolah sudah tahu bakal kedatangan orang. Abu Amir
mengangkat kepalanya dan meletakkannya di pangkuannya. Anak muda itu tiba-tiba
marah atas perbuatan itu. "Jangan tertipu kenyamanan duniawi! Kehidupan
akan segera berakhir dan kita akan berpisah dengan kenyamanan itu. Ketika
seseorang meninggal dunia, peringatkan dirimu bahwa suatu hari kamu juga akan
menemui akhirat. Nanti, jika rohku telah meninggalkan kerangka yang fana ini,
tolong mandikan aku dengan baik dan kuburkan aku setelah membungkus badan ini
dengan pakaian yang sedang aku kenakan."
Abu Amir bertanya, "Mengapa tidak aku bawakan sebuah
kain kafan yang pas untukmu?" Dia berkata, "orang-orang yang hidup
lebih berhak memanfaatkan pakaian yang baru." (Inilah juga yang diutarakan
Abu Bakar Shiddiq saat dia mau meninggal dunia. Dia katakan bahwa dia harus
dikuburkan sesudah dibungkus dengan pakaian yang sedang dia kenakan.) Anak muda
itu berkata: "Lama atau baru, kain kafan akan menjadi usang. Yang
seseorang bawa ke akhirat adalah amal perbuatannya. Berikan serban dan tempat
airku kepada penggali kubur sebagai upahnya dan bawalah cincin dan Al-Quran ini
kepada Raja Harun ar-Rasyid. Jagalah baik-baik dan serahkan sendiri
barang-barang ini kepada Raja. Beri tahu Raja bahwa barang-barang ini
ditinggalkan seorang anak pengembara. Beri tahu dia supaya berhati-hati
terhadap kematian dan kelalaian."
Setelah mengatakan hal itu, roh pemuda itu terbang menuju
surga.
Abu Amir baru menyadari bahwa pemuda itu seorang pangeran.
Dia melaksanakan permintaan terakhir pemuda itu, ia lalu menguburkannya. Dia
memberikan serban dan tempat air kepada penggali kubur dan membawa Al-Quran dan
cincinnya ke Baghdad. Ketika sampai di dekat istana, dia melihat suatu
rombongan keluar dari istana. Abu Amir berhasil menemukan podium yang tinggi di
mana dia dapat menyaksikan apa yang sedang terjadi. Dia melihat prosesi
angkatan bersenjata yang terdiri dari seribu tentara berkuda. Prosesi ini
keluar satu per satu. Dan, pada barisan ke sepuluh, dia melihat Raja keluar.
Maka berteriaklah Abu Amir: "Demi Tuhan, berhenti dan dengarlah apa yang
akan aku katakan atas nama Nabi yang suci!"
Mendengar ucapan itu, Raja memperhatikannya. Cepat-cepat Abu
Amir menuju ke arah Raja dan berkata: "Barang-barang ini diberikan
kepadaku oleh seorang anak pengembara yang memintaku untuk menyerahkannya
kepada Anda." Raja melihat barang-barang yang rasanya pernah akrab
dengannya itu. Setelah beberapa saat, ia menundukkan kepala dengan penuh
linangan air mata. Raja meminta seorang pesuruh untuk menjaganya sampai dia
kembali.
Ketika Raja kembali ke istana, ia memerintahkan agar
tirai-tirai di kamarnya diturunkan. ia berkata: "Panggil orang itu agar
aku dapat meringankan beban dukaku." Pesuruh itu pergi ke Abu Amir dan
memberitahukan bahwa Raja ingin ditemani olehnya. Namun demikian, Abu Amir
memperingatkan dirinya sendiri bahwa Raja sedang sedih dan dia harus menjaga
kata-katanya kalau berbicara dengannya.
Sampai di kamar Raja, Abu Amir melihat Raja sedang duduk
seorang diri. Raja meminta agar dia mendekat dan duduk di sebelahnya. Raja
bertanya apa yang anaknya sering kerjakan.
Abu Amir memberitahukan kalau dia sering mencari nafkah dan
bekerja sebagai tukang batu. "Apakah dia bekerja untukmu?" tanya
Raja. "Ya," jawab Abu Amin Raja berkata: "Tidak tahukah kamu
kalau dia berhubungan dekat dengan Nabi?" (Raja adalah keturunan Abbas ibn
Abd al-Muthalib, paman Nabi). Abu Amir menyesal tidak tahu apa pun tentang anak
itu saat dia bertemu dengannya dulu. Kemudian Raja bertanya apakah dia yang
memandikan anaknya. Abu Amir mengiyakan. Raja menyentuh tangannya dan
menggenggamnya erat-erat ke dadanya. Ketika itulah ia menyenandungkan bait ini:
Hatiku mulai luluh,
mengenang sang pengembara kesepian yang jauh dariku
Meskipun begitu,
dukanya sungguh memenuhi hatiku
Kematian, tak pelak,
memporandakan kenyamanan kita
Wahai pengembara,
wajahmu adalah secercah cahaya rembulan Yang menempel pada lehermu nan jenjang
dan berkilau
Kubur telah menelan sepotong
bulan, bulan atau cahaya bulan
Selanjutnya, Raja Harun ar-Rasyid menziarahi kuburan
anaknya, ditemani Abu Amir. Ketika mereka sampai di tempat itu, Raja
melantunkan syair berikut ini:
Betapa besar
keinginanku
Berjumpa dengan sang
pengembara yang tak akan pernah kembali
Kematian terlalu dini
menjemputnya
Engkau adalah cahaya
kedua mata ini
Hatiku tergetar oleh
cintamu
Dan ayahmu ini, aku
akan segara merasakan Cawan Kematian dalam usia uzurnya
Sedang engkau dalam
usia mudamu mendahului merasakannya
Cepat atau lambat
siapa pun harus menerima cawan itu
Di mana pun ia berada,
di hutan atau di kota
Kita hanya dapat
memuji Tuhan
Dan dialah yang
menentukan perilaku kita
Melanjutkan ceritanya, Abu Amir berkata bahwa setelah
memanjatkan doa-doa di malam hari, dia tidur dan bermimpi melihat sebuah sumber
cahaya yang berubah menjadi suatu awan keperakan. Dilihatnya wajah pemuda
pengembara itu keluar dari awan. Pemuda itu menyapa dia dan berkata: "Aku
berdoa semoga Allah membalas kebaikan yang telah engkau lakukan untukku."
Abu Amir bertanya bagaimana keadaannya setelah mengucapkan selamat tinggal
kepada dunia yang fana ini. Pemuda itu berkata bahwa dia dikelompokkan ke dalam
orang-orang yang diberkati, dan dia menikmati rahmat itu yang tak satu pun
manusia dapat mengerti atau memahaminya.
Abdullah ibn Mas'ud berkata: Orang yang dapat menahan tidur
dan melakukan shalat sepanjang malam telah dijanjikan hal-hal semacam itu
(seperti pemuda tersebut) oleh Allah. Menurut Al-Quran, tak seorang pun pernah
memimpikan kesenangan yang diperuntukkan bagi orang-orang yang diberkati di
akhirat kelak.
Menurut kisah yang lain, ketika seseorang bertanya kepada
Raja Harun ar-Rasyid tentang anaknya, dia berkata: "Anak itu lahir jauh
sebelum aku menjadi raja. Anak itu benar-benar mengetahui Al-Quran dan cabang
ilmu pengetahuan lainnya. Ibunya telah memberinya sebuah cincin yang berharga
yang tak dapat dia manfaatkan dan dikembalikannya sebelum dia meninggal. Dia
sangat patuh kepada ibunya."
Demikian kisah renungan mengenai putra Harun Ar-Rasyid, semoga dapat kita renungkan betapa hinanya dunia ini. Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari cinta dunia yang berlebihan. Share jika anda rasa bermanfaat. Baca juga
kisah seorang pemuda yang mendapat istana di surga.