Durhaka Kepada Orang Tua

Kisah Renungan Islami - Berikut ini kisah seorang laki-laki dimasa Rasulullah yang Durhaka Kepada Orang Tuanya dalam kisah ini kepada Durhaka kepada Ibunya. Laki-laki ini tidak bisa mengucapkan 2 kalimat syahadat saat akan meninggal namun.. Baca kisah selengkapnya. Kisah ini dikutip dari Buku "Mati itu spektakuler" Penerbit "Zaman".

Abdullah ibn Abi Aufa mengatakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi dan memberi tahu beliau bahwa seorang pemuda yang berada di ambang kematiannya sedang dituntun mengucapkan kalimat tayyibah (tidak ada Tuhan melainkan Allah), tapi selalu gagal. Nabi menanyakan apakah anak muda itu sudah terbiasa mengucapkan kalimat tayyibah selama hidupnya. Orang-orang menjawab bahwa dia terbiasa mengucapkan kalimah tersebut. Nabi merasa aneh jika seseorang yang telah mengucapkan kalimat itu sepanjang hidupnya, gagal mengucapkannya pada detik-detik akhir kehidupannya. Kemudian Nabi mendatangi pemuda itu dan mengajarkannya mengucapkan kalimat tayyibah, tetapi dia memperlihatkan ketidakmampuannya. Nabi bertanya mengapa dia seperti begitu. Anak muda itu memberitahukan bahwa hal itu karena dia tidak patuh kepada ibunya. Nabi bertanya apakah ibunya masih hidup. Dia membenarkan. Nabi kemudian meminta orang-orang memanggil ibunya. Ketika perempuan itu datang, beliau bertanya kepadanya, apakah pemuda itu anaknya. Dia membenarkan. Nabi lalu bertanya apa yang akan dia lakukan jika anaknya itu dibakar di dalam api yang menyala-nyala. Perempuan itu lalu menjawab bahwa dia memaafkan anaknya. Nabi memerintahkan dia bersumpah demi Tuhan dan mengumumkan di depan semua orang bahwa dia sudah memaafkan anaknya itu. Perempuan tua itu lalu melakukannya. Kemudian Nabi memerintahkan anak muda itu mengucapkan kalimat tayyibah. Dengan mudah, pemuda itu mengucapkannya. Nabi merasa sangat senang dan berkata bahwa Tuhan telah menyelamatkan pemuda itu dari hukuman neraka. (H.R. Baihaqi, Thabrani).

Abdur Rahman Maharbi mengatakan bahwa seseorang yang sedang sekarat diperintahkan mengucapkan kalimat tayyibah, tapi dia mengaku tidak dapat mengucapkannya, karena dia sering berteman dengan orang-orang yang pernah menjelek-jelekkan Abu Bakar dan Ustman (Ibn Asakir).
Nabi mengutus Abu Qatadah bersama beberapa orang pada sebuah misi ke Zam, salah satu pegunungan di Madinah. Ada seorang laki-laki yang bernama Amar ibn Sabt secara kebetulan bertemu pasukan muslim ini. Ketika melihat mereka dia mengucapkan kalimat tayyibah. Tapi karena mereka meragukan keimanannya, mereka tidak membalas salamnya. Lalu, Mahlam ibn Jasana melangkah maju dan membunuhnya. Ketika inilah sebuah ayat diwahyukan untuk mencela orang-orang muslim:

Hai orang-orang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah. janganlab kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu: "Engkau bukan orang-orang mukmin (Lalu kamu membunuhnya)." (Q.S. 4: 94).

Mahlam mengadu kepada Nabi dan memohon agar dia diampuni. Nabi berkata bahwa Tuhan mungkin tidak mengampuninya. Ketika Mahlam mendengar hal itu, berlinanglah air matanya dan dia pergi meninggalkan pasukan itu. Dia ia meninggal dalam minggu itu juga. Ketika hendak dikuburkan dan diletakkan ke liang lahad, jasadnya terlempar keluar. Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali. Lalu, orang-orang meninggalkannya di tengah bebatuan. Ketika Nabi mendengar hal ini, beliau berkata bahwa bumi sebenarnya dapat menerima orang-orang yang lebih buruk dari Mahlam. Kejadian itu dimaksudkan menarik perhatian kaum muslim agar mengambil hikmah dari peristiwa itu.

Demikian kisah Durhaka Kepada Orang Tua, semoga bisa menjadi bahan renungan bagi kita betapa pentingnya berbakti kepada kedua orang tua utamanya kepada Ibunda. Baca juga "Kisah budak perempuan II"

Perubahan Rupa Malaikat Maut Ketika Mencabut Nyawa

Kali ini kisah renungan islami memposting artikel yaitu Perubahan Rupa Malaikat Maut Ketika Mencabut Nyawa. Seperti apa Perubahan Rupa Malaikat Maut Ketika Mencabut Nyawa? Baca kisahnya dibawah ini. Baca juga postingan sebelumnya "Kisah Budak Perempuan II".
(1) Abu Sha’thar Jabir ibn Zaid mengatakan bahwa para malaikat pada mulanya mencabut nyawa orang tanpa rasa sakit. Lalu orang-orang mulai memprotes kepada Tuhan yang telah menciptakan penyakit-penyakit. Tapi mereka malah menganggap kematian berasal dari penyakit dan melupakan malaikat maut (Marazi, Ibn Abi Dunya, Abu asy-Syaikh). Singkat kata, kecuali beberapa orang yang terpilih, banyak orang mengaitkan kematian dengan penyakit.

(2) A’masy mengatakan bahwa awalnya malaikat maut muncul di hadapan orang-orang dalam bentuk manusia dan meminta mereka menyelesaikan keinginannya yang terakhir, sehingga dia dapat mencabut nyawa mereka. Tapi mereka kemudian mengeluh dengan cara itu. Lalu Tuhan menciptakan penyakit-penyakit dan menaruh kematian di belakangnya.

(3) Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi bahwa sebelum malaikat maut datang kepada manusia dalam bentuknya sekarang, dia pernah mendatangi Nabi Musa. Lalu Musa menempelengnya dan membuat buta salah satu matanya. Malaikat itu kemudian mengadu kepada Tuhan bahwa hamba-Nya Musa telah membuatnya buta. Kalau saja Tuhan tidak memuliakan Musa, tentu dia akan membalasnya. Tuhan lalu memerintahkannya untuk mendatangi Musa dan memberitahunya agar meletakkan tangannya pada seekor sapi dan Tuhan akan memperpanjang umurnya sebanyak bulu yang menempel di tangannya. Malaikat maut membawa pesan Tuhan kepada Musa yang bertanya apa yang akan terjadi setelah itu. Malaikat maut menjawab bahwa kematian akan datang kepadanya setelah habisnya masa perpanjangan. Setelah itu Musa berkata, jika dia harus: meninggal, dia lebih suka meninggal saat itu juga. Kemudian dia memberikan sebuah apel kepada Musa. Ketika dia mulai menciuminya, malaikat itu mencabut rohnya. Allah lalu memulihkan mata malaikat maut itu. Sejak saat itu, dia berhenti muncul dengan rupa manusia (H.R. Ahmad, Bazar, dan Hakim).

Demikian artikel tentang Perubahan Rupa Malaikat Maut Ketika Mencabut Nyawa, baca juga Gambaran malaikat Izrail & Malaikat lainnya.

Kisah Budak Perempuan (II)

Kisah renungan islami kali ini menghadirkan Kisah dramatis seorang Budak Perempuan yang dibeli oleh seorang Alim pada masa itu, ternyata budak perempuan itu adalah.. Baca kisah lengkapnya dibawah. Sebelumnya telah saya posting Kisah Budak Perempuan (I), jangan lewatkan ya.

Muhammad ibn Hussain Baghdadi berkata: "Suatu hari aku berangkat menunaikan haji. Kebetulan aku melewati pasar Makkah dan melihat seorang laki-laki tua yang menggandeng seorang budak perempuan yang tampak pucat tetapi wajahnya berseri-seri. Laki-laki tua itu berteriak, "Siapa yang mau membeli budak perempuan ini? Adakah yang mau membayar dua puluh koin emas dengan syarat aku tidak bertanggung jawab terhadap segala kekurangannya?" Aku dekati laki-laki tua itu dan bertanya kepadanya: "Aku sudah tahu harganya, tolong beri tahukan kekurangan-kekurangannya." Kemudian lelaki tua itu mulai merincinya: "Dia seorang perempuan gila, dan selalu tampak cemas. Dia beribadah sepanjang malam dan berpuasa sepanjang siang; tidak makan, tidak minum, dan suka sekali menyendiri."

Sifat-sifat anak itu menarik perhatianku, maka aku membelinya. Aku melihatnya duduk dengan wajah tertunduk, tapi kemudian dia mengangkat kepalanya dan berkata: "Tuan muda, dari mana negeri asal Tuan? semoga Allah melimpahkan rahmatnya kepadamu." Aku menjawab: "Dari Irak." Dia bertanya: "Irak bagian mana, Basrah atau Kufah? "Aku menjawab: "Bukan dari keduanya." Dia bertanya lagi: "Apakah Tuan dari Baghdad? Aku berkata: "Ya." Dia berseru kegirangan dan berkata: "Itu adalah kota para orang saleh, itu adalah kota orang-orang beriman." Aku bertanya bagaimana budak perempuan ini memiliki pengetahuan tentang orang-orang saleh. Karena rasa senangku, aku bertanya: "Orang-orang saleh mana yang kamu kenal?" Dia mulai menghitungnya: "Malik ibn Dinar, Bashar Hafi Saleh, Muhammad ibn Husein Baghdadi, Rabi'ah, Advia, Sha'wana, dan Maimuna."

Aku bertanya kepadanya: "Bagaimana engkau tahu tentang orang-orang saleh itu?" Orang-orang ini adalah para dokter hati. Merekalah orang-orang yang dekat dengan Allah dan karena itu mereka tidak suka selain mencari keridaan-Nya. Tujuan utama mereka adalah Allah. Betapa mulianya tujuan mereka, mereka hanya persembahkan diri kepada Allah. Mereka tidak terperangkap dunia, maupun kesenangan dan masalahnya." Aku lalu berkata kepadanya: "Wahai anak perempuan, Aku adalah Muhammad ibn Husein." Dia berkata: "Aku selalu memohon kepada Allah agar Dia memberikanku kesempatan melihatmu. Bagaimana dengan suaramu yang memesonakan hati-hati para muridmu?" Aku berkata, "Aku masih memilikinya (suara yang memesona)." Dia berkata, "Demi Tuhan, bacakan untukku bagian dari Al-Quran." Lalu aku bacakan: "BismiiIahi rrahmanirrahim"." Dia menjerit keras dan tidak sadarkan diri. Aku percikkan air padanya dan dia tersadar, lalu berkata: "Jika nama-Nya saja berpengaruh begitu mendalam, apa yang akan terjadi denganku ketika aku melihat-Nya di surga?" Kemudian di berkata lagi: "Baiklah, bacakan lagi Al-Quran. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu." Aku membacakan sebuah ayat Al-Quran:

Apakah orang-orang yang berbuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah yang mereka sangka itu. (Q.S. 45: 21).

Mendengar ayat ini, dia berkata "Alhamdulillah, aku tidak menyembah siapa pun selain Dia tidak pula aku memuja berhala." Kemudian dia memintaku membacakan beberapa ayat lagi:

Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim neraka
yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, mereka akan diberi minum air seperti besi mendidih yang menghanguskan mereka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (Q.S. 18: 29).

Kemudian dia menambahkan "mengapa engkau membuat hatimu menjadi begitu muram. Buatlah ia hidup di antara pengharapan dan rasa takut." Dia berdoa "Semoga Tuhan menunjukkan rahmat-Nya kepadamu." Kemudian dia memintaku membaca beberapa ayat lagi:

Banyak wajah pada hari (kebangkitan) itu berseri-seri, tertawa dan bergembira ria (dengan berita gembira). (Q.S. 80: 38-39).

Aku juga membacakan Ayat ini:
Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri, melihat Tuhan mereka. (Q.S. 75: 22-23).

Dia kemudian berkata: "Aduhai, betapa cemasnya aku akan pertemuan dengan-Nya ketika Dia menampakkan diri-Nya kepada para wali-Nya." Lalu dia berdoa: "Semoga Allah memberkahi engkau dengan rahmat-Nya. Bacakanlah lagi beberapa ayat." Aku bacakan beberapa ayat Al-Quran:

Mereka dikelilingi anak-anak muda yang tetap muda
Dengan membawa gelas, ceret, dan piala berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir
Mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih
Dan daging burung dari apa yang mereka inginkan
Dan (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli Laksana mutiara yang tersimpan baik
Sebagai balasan bagi apa yang mereka kerjakan
Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa
Akan tetapi mereka mendengar ucapan salam
Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu
Berada di antara pohon bidara yang tidak berduri
Dan pohon (pisang) yang bersusun-susun (buahnya)
Dan naungan yang terbentang luas
Dan air yang tercurah
Dan buah-buahan yang banyak
Yang tidak terhenti (buahnya) dan tidak terlarang mengambilnya Dan kasur-kasur yang empuk
Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung
Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan
Penuh cinta lagi sebaya umurnya
(Kami ciptakan mereka) untuk golongan kanan. (Q.S. 56: 17-38).

Kemudian budak perempuan itu memberitahuku: "Milikmu adalah pengikat (perkawinan) dengannya. Engkau harus mengeluarkan sesuatu untuk hadiah perkawinan." Aku bertanya padanya: "Apakah (hadiah) perkawinan bagi mereka, karena aku adalah laki-laki yang miskin?" Dia berkata: "Hadiah perkawinan mereka adalah tahajud, berpuasa di siang hari, dan mencintai orang-orang miskin dan anak-anak yatim." Sesudah itu, budak perempuan itu melantunkan bait-bait puisi berikut:

Wahai laki-laki yang menginginkan bidadari-bidadari di surga Yang terobsesi dengan mereka
Bersemangatlah, berjuang keras, dan jangan malas
Bertahajudlah di tengah malam
Karena ia adalah mas kawin bagi perawan-perawan surga Yang menyilaukan mata
Yang memiliki dada-dada montok
Yang berjalan beriringan bersama gadis sebayanya Yang mengenakan kalung berkilauan
Yang tak ada tara bandingnya di dunia

Sesudah melantunkan bait-bait itu, dia tidak sadarkan diri. Lagi-lagi aku memercikkan air di wajahnya. Setelah tersadar, ia berdoa:

Ya Tuhan, lindungilah aku dari azab-Mu. Dengan kasihmu, Engkau ampuni dosa-dosaku, karena Engkau Maha Penyayang dan Maha Pemurah. Orang-orang berpendapat baik tentang diriku, namun bila tidak Engkau ampuni kesalahan-kesalahanku, maka hancurlah aku. Tidak ada jalan bagiku selain mengharapkan pengampunan-Mu dan tidak kuharap apa pun selain rahmat-Mu.

Setelah mengucapkan doa puitis ini, budak tersebut tidak sadarkan diri lagi. Ketika aku menghampirinya, dia telah meninggal dunia. Aku betul-betul kaget dan segera pergi ke pasar untuk membeli perlengkapan untuk menguburkannya. Sewaktu pulang dari pasar, aku menemukan mayatnya sudah terkafani dan sudah diberi parfum, serta siap dibawa ke kubur. Kafannya terdiri dari dua lembar kain berwarna hijau, yang merupakan baju surga. Di atas kain kafan, tertulis dua baris kalimat dengan menggunakan cahaya langit. Baris pertama adalah kalimat thayyibah: "La ilaha illallah, Muhammad rasulullah." Baris yang lain berisi sebuah ayat Al-Quran, "Maka ingatlah, para wali Allah, tidak ada rasa takut atas mereka, dan tidak pula mereka bersedih."

Dengan bantuan beberapa kawan, aku membawa jenazahnya. Setelah mengucapkan doa, kami menguburkannya. Aku mengalami penderitaan yang amat sangat akibat kematiannya. Saat pulang, aku melakukan shalat dua rakaat dengan sangat khusyuk, lalu tertidur. Dalam ridurku, aku bermimpi melihat budak perempuan itu berjalan di surga. Dia berada di sebuah taman Zafaron yang kecil tetapi beraroma harum. Dia menggunakan setelan sutera dan brokat, juga sebuah mahkota di atas kepalanya bertaburan permata. Dia mengenakan sepatu yang terbuat dari batu mulia. Aroma minyak kesturi dan parfum memancar dari badannya. wajahnya lebih cerah daripada Matahari dan Bulan. Aku berkata: "Wahai anak perempuan, berhentilah sebentar dan beri tahu aku amalan apa sehingga kamu dianugerahi tempat terhormat ini." Dia berkata: "Semua ini karena rasa cintaku yang aku tunjukkan pada orang-orang papa dan anak-anak yatim; doaku supaya diampuni; dan menyingkirkan benda-benda berbahaya dari jalan umum." Dia kemudian mengucapkan bait-bait puisi berikut:

Kemujuran adalah orang yang di malam hari matanya selalu terjaga
Dan melewatkannya dalam kerinduan akan kebesaran cinta Tuhannya
Menyesali kekurangannya di siang hari
Menyendiri di malam hari
Menghitung bintang dan takut akan hukuman Allah

Allah menyaksikan semua itu

Demikian kisah renungan islami Mengenai budak perempuan ini semoga bermanfaat. Baca juga Kisah kematian orang-orang takwa

Kisah Rasyid ibn Sulaiman

Setelah kisah yang saya posting kemarin "Kisah seorang perempuan cantik yang sabar" dan kini kisah renungan islami kembali menghadirkan kisah Rasyid ibn Sulaiman, berikut kisahnya.

Dahhak Maz'ahim berkata: "Pada Jumat malam, aku pergi untuk menemui pengurus masjid Kufah. Malam itu diterangi cahaya Bulan. Di halaman masjid, aku melihat seseorang sedang bersujud dan menangis tersedu-sedu. Aku berpikir dia tentu seorang wali. Aku mendekatinya untuk dapat mendengarkan ucapannya. Dia mengatakan:

Wahai Pemilik segala kehormatan, hanya kepada-Mu saja aku beriman. Kekayaan adalah milik orang yang mencari keridaan-Mu, milik orang yang menghabiskan malamnya dalam keterpesonaan dan ketakutan terhadap-Mu, dan melepaskan perihnya hanya di hadapan Pemilik Segala Keagungan. Dia tidak memiliki tujuan dan kepedulian; baginya, hidup hanya diabadikan dalam cinta Allah yang tiada akhir. Saat tirai malam menyelimutinya, dia sibuk memohon kepada Allah. Lalu, Dia mengabulkan permohonannya dengan mengatakan: "Di sinilah aku bersamamu."

Orang itu mengulangi kalimat tersebut dengan berlinang air mata. Karena rasa simpati, akhirnya aku juga ikut menangis. Kemudian dia berbicara, seakan melihat cahaya langit dan mendengar seseorang yang membacakan syair:

Hamba-Ku, di sinilah Aku.
Engkau ada dalam lindungan-Ku
Malaikat-malaikat-Ku menyukaimu
Dan seluruh dosa-dosa-Mu telah Aku ampuni

Kemudian aku menyapanya: "Assalamu'alikum." Dia membalas: "Wa'alaikum salam." Aku berkata: "Semoga Tuhan memberkatimu dan mengasihimu, tapi beri tahu aku, siapa Anda!" Dia berkata: "Aku Rasyid ibn Sulaiman." Aku sudah pernah mendengar namanya dan mengenal sifat-sifatnya. Sejak lama, ingin sekali aku bertemu dengannya. Pada hari itu, Tuhan memberiku kesempatan untuk bertemu dangannya. Ketika aku meminta tinggal bersamanya, dia mengatakan: "Sulit, saat seseorang sedang berada dalam kenikmatan dekat dengan Tuhannya, dia tidak pernah berhubungan dengan orang lain. Demi Tuhan, jika para wali Allah melewati kita, mereka tentu akan mengatakan: ‘orang-orang ini tidak percaya kepada hari akhir.’" Setelah menyatakan ini Rasyid menghilang. Tuhan Mahatahu apakah dia terbang ke langit atau menghilang ke dalam bumi. Perpisahan dengannya memperparah dukaku, maka aku berdoa kepada Tuhan agar Dia memberi kesempatan untuk bertemu lagi dengannya sebelum aku meninggal.

Suatu hari, saat berhaji, aku melihatnya di balik dinding Ka’bah yang sedang dikelilingi sekelompok orang yang membacakan surah al-An'am. Melihat aku, dia tersenyum dan berkata: "Inilah buah kebaikan ulama dan berkah para wali Allah." Dia lalu berdiri, menjabat tanganku, dan memelukku sambil mengatakan: "Apakah Anda memohon kepada Allah agar bertemu aku lagi?" Aku benarkan perkataannya. Kemudian aku memintanya memberitahukan apa yang telah dilihatnya dan didengarnya pada malam itu. Dia menjerit begitu kerasnya seolah hatinya hancur. Dia terjatuh tak sadarkan diri. Sedang orang-orang yang tadi mengelilinginya dan membacakannya Al-Quran telah pergi. Ketika sadar kembali, dia berkata: "Saudaraku, engkau tidak tahu perihnya duka lara dan rasa takut di dalam hati para wali Allah ketika dia membuka rahasia kekasih-Nya." Aku bertanya: "Siapakah tadi orang-orang yang membaca Al-Quran di sekelilingmu?" Dia berkata: "Mereka adalah jin. Aku menghormati mereka karena hubungan lamaku dengan mereka. Mereka melaksanakan haji dalam rombonganku setiap tahun dan membacakan aku Al-Quran." Kemudian dia mengucapkan selamat berpisah kepadaku dengan doanya:

Semoga Tuhan mengatur pertemuan kita di surga, di mana tiada perpisahan, kerja-keras, kesedihan, dan derita.

Setelah mengucapkan doanya, dia menghilang. Dan sejak itu, aku tidak pernah melihatnya lagi.

Baca juga kisah Putra Harun Ar-Rasyid, kisah seorang anak raja yang rela meninggalkan kemewahan istananya.

Kisah Seorang Perempuan Cantik yang Sabar

Kisah renungan islami tentang "Kisah seorang perempuan cantik yang Sabar". Kisah berikut ini mengisahkan kesabaran dan ketabahan seorang perempuan meskipun cobaan yang diberikan kepadanya sungguh luar biasa, berikut kisahnya.

Abu Hassan Siraj bercerita: Ketika aku pergi haji, aku mengelilingi Ka’bah dan tanpa sengaja melihat seorang perempuan cantik. Aku berkata: "Demi Tuhan, belum pernah aku melihat orang secantik ini. Pastilah kecantikan itu karena dia belum pernah mengalami kesedihan." Rupanya dia mendengarkan gumamanku, lalu berkata: "Apa yang telah Anda ucapkan? Demi Tuhan, aku telah terbenam dalam dukacita dan kesengsaraan. Tak seorang pun yang mau berbagi rasa denganku." Aku bertanya: "Apa yang terjadi denganmu?" Dia berkata: "Suamiku adalah penyembelih domba. Saat itu kedua anakku yang masih kecil sedang bermain-main, sedang seorang bayi ada di pangkuanku, sementara aku juga harus memasak. Kemudian salah satu dari anak itu berkata: mari aku tunjukan cara bapak kita menyembilah domba. Anak yang satunya setuju. Dan seketika itu juga dia membunuh saudaranya sepeti membunuh seekor domba dengan cara merebahkannya ke tanah. Dia lalu lari ketakutan, dan mendaki sebuah bukit di mana seekor serigala melahapnya. Bapaknya pergi mencari-cari dia dan dalam perja-lanan pencarian anaknya, dia meninggal dunia karena kehausan yang sangat. Aku mendudukkan bayi itu dengan penuh harapan mendapat kabar di mana suamiku. Sementara bayiku merangkak ke perapian yang di atasnya ada periuk mendidih. Segera saja dia menggoyang-goyangkanya, dan jatuhlah periuk itu ke atasnya, akibatnya tubuhnya terbakar sampai kulitnya terkelupas. Aku juga masih memiliki seorang anak gadis yang tinggal di rumah suamiku. Ketika malapetaka ini terdengar olehnya, dia terjatuh dan tewas. Begitulah, akhirnya kini tinggal aku sendirian."

Aku bertanya: "Bagaimana engkau dapat tahan dengan semua kemalangan ini?" Dia berkata: "Orang yang mau merenung tentang kesabaran dan ketidaksabaran akan memahami banyak perbedaan di antara keduanya. Balasan kesabaran adalah kemuliaan, adapun ketidaksabaran tidak ada pahalanya." Kemudian dia membacakan syair berikut dan pergi.
Pertahananku adalah hal yang terbaik untuk diandalkan: kesabaran.
Sekiranya diperoleh kebaikan dari ketidaksabaran, sudah pasti telah kujalani
Aku bertahan dari segala kemalangan yang dapat meruntuhkan gunug-gunung

Air mataku dapat terkendali. Dia bisa tertahan keluar Tapi kini, ia terjatuh ke relung hatiku

Demikian kisah renungan ini, semoga Allah memberikan kepada kita selalu kesabaran dalam setiap keadaan yang kita alami di dunia ini. Baca juga Kisah Putra Harun Ar-Rasyid.

Kisah Seorang Pemuda yang Pergi Berhaji

Pada kisah sebelumnya "Kisah putra Harus Ar-Rasyid" sekarang kisah renungan islami kembali menyajikan kisah renungan yang berjudul Kisah Seorang Pemuda yang Pergi Berhaji. Kejadian ganjil apakah yang dialami pemuda ini, baca kisah selengkapnya.

Ibrahim Khawas berkata: Aku berhaji bersama rombongan banyak teman yang sudah pernah berhaji. Dalam perjalanan, tiba-tiba aku dikuasai dorongan untuk menyendiri dan timbul keinginan kuat dalam diriku untuk pergi meninggalkan rombongan itu. Maka, aku tinggalkan rombongan itu dan mengambil jalur lain seorang diri. Aku teruskan perjalanan sendirian ini selama tiga hari tiga malam tanpa henti dan tak pernah terpikir olehku makan maupun minum. Setelah berjalan tiga hari tiga malam, aku sampai di hutan yang rimbun dan hijau, di mana tumbuh buah-buahan dan bunga-bunga dari berbagai jenis, semua baunya harum dan manis. Di tengah-tengah tempat ini ada sebuah sumber air yang bergolak. Aku menganggap inilah surga yang benar-benar mengagumkan. Aku masih dalam keterpanaan ketika melihat serombongan orang yang sedang berjalan menuju ke arahku. Wajah-wajah rombongan ini seperti manusia. Mereka mengenakan kain indah yang bergambar. Mereka mengelilingiku dan memberi salam. Aku jawab salam mereka dan berkata: "Di mana kalian dan di mana aku?" Tiba-tiba aku merasa bahwa mereka adalah jin.

Salah seorang dari mereka berkata: "Memang ada perseilisihan pendapat di antara kalian (manusia) tentang kami. Pada malam pengambilan sumpah setia kepada Allah, kami mendengar kitab suci (Al-Quran) yang telah membebaskan kami dari semua kecemasan dunia. Lalu, Tuhan menganugerahkan tempat ini untuk kami." Aku bertanya: "Seberapa jauh tempat di mana aku meninggalkan teman-temanku?" Mendengar pertanyaanku, salah seorang dari mereka tersenyum dan berkata: "Wahai Abdul Ishak, mistri adalah cara-cara Allah. Seorang pemuda dari bangsamu pernah datang ke sini dan meninggal di tempat ini. "Lihatlah, inilah kuburannya," mereka menunjuk sebuah kuburan. Aku melihat kuburan yang berada di tepi kolam itu, dikelilingi taman kecil di mana tumbuh aneka bunga yang belum pernah aku lihat.

Kemudian jin itu berkata: "Jarak ke tempat itu dari sini memakan waktu berbulan-bulan lamanya." Ibrahim berkata: "Baik, beri tahu aku ciri-ciri anak muda itu." Salah seorang dari mereka lalu menceritakan kepadaku tentang anak muda itu: Kami sedang duduk-duduk di sisi sumber air itu sementara membincangkan tentang kuatnya cinta Allah. Tidak lama kemudian datanglah anak muda itu dengan memberi salam kepada kami. Kami jawab salamnya, dan bertanya: "Wahai anak muda, dari mana asalmu?" Dia menjawab: "Nishapur." Kami bertanya lagi, "Sudah berapa lama kamu meninggalkan kota itu?" Dia menjawab: "Tujuh hari." "Apa tujuanmu meninggalkan kota itu?" tanya kami lagi. "Aku telah mendengar firman-firman suci, di antaranya adalah:
Dan kembalilah kepada Tuhanmu (dengan penuh penyesalan) dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab, dan kemudian kamu tidak dapat ditolong. (Q.S. 39: 54).

Kami bertanya lebih lanjut: "Apa yang dimaksud dengan ‘rasa sesal’ dan azab?'" Dia lalu menjelaskannya. Ketika sampai pada pembahasan "azab," dia menjerit dan meninggal dunia. Lalu kami menguburkannya di sini.

Ibrahim berkata: "Aku sangat terkesan mendengar cerita itu. Karenanya, aku dekati kubur itu dan kulihat ada sebuah karangan bunga bakung yang sangat besar. Di bagian kepala kuburnya, tertulis kata-kata berbahasa Arab: inilah kubur kekasih Allah. Ia meninggal karena hatinya yang teguh."

Di atas daun bakung, tertulis penjelasan kata "rasa sesal." Aku membacanya dan para jin itu memintaku memberitahukan maksud kata itu. Mereka menjadi sangat senang dan mulai bersuka cita. Mereka berkata: "Persoalan kami yang menjadi perselisihan di antara kami telah terpecahkan." Ibrahim berkata: "Aku lalu merasa ngantuk. Dan ketika aku terjaga, aku telah berada di dekat masjid Aisyah yang terletak di daerah Tan'im (dekat Makkah) dan menemukan sebuah karangan bunga tergeletak di bajuku. Bunga itu tetap aku simpan selama satu tahun. Anehnya, bunga-bunga itu tetap segar. Namun demikian, setelah beberapa hari (dari satu tahun itu), karangan bunga itu tiba-tiba menghilang."

Kisah Putra Harun Ar-Rasyid

Berikut ini kisah renungan mengenai seorang Putra Raja yang rela meninggalkan kemewahan untuk mendapatkan ridho dari Allah. Simak kisah lengkapnya. 

Raja Harun ar-Rasyid mempunyai seorang anak laki-laki, berusia hampir delapan belas tahun. Dia suka duduk bersama orang-orang saleh. Dia sering mengunjungi kuburan dan menyapa orang mati sambil berkata: "Engkau telah menjalani kehidupan yang fana. Engkau telah meninggalkan dunia yang tidak memberikan kedamaian. Karena engkau sekarang sudah mencapai kubur, aku hanya ingin mengetahui apa yang terjadi padamu dan pertannyaan-pertanyaan apa yang harus kalian jawab." Anak khalifah terkenal itu sering terdengar membawakan bait ini:

Aku merasa ngeri melihat prosesi penguburan setiap hari
Tangisan untuk si mayat sungguh sangat menyesakkanku


Suatu hari, dia mendatangi ayahnya yang sedang duduk bersama para menteri dan pesuruhnya. Tubuh anak raja ini terbungkus kain kasar dan mengenakan serban di kepalanya.

"Anak gila ini telah merendahkan Raja," bisik pesuruhnya. Mereka lalu meminta Khalifah menegur anaknya agar mengubah penampilannya. Khalifah berkata kepada anaknya, "Engkau benar-benar telah merendahkanku, anakku." Anak itu tidak menjawab tetapi menunjuk kepada seekor burung liar yang hinggap di dekat situ, dan berkata: "Demi Allah, aku minta kamu datang dan hinggap di atas lenganku." Seketika itu juga, burung itu terbang dan hinggap di atas lengannya. Lalu dia meminta burung itu pergi, dan burung itu pun terbang kembali ke tempatnya.

Kemudian ia berkata kepada ayahnya: "Cara Ayahanda mencintai dunia sungguh membuat aku malu dan aku sudah putuskan untuk berpisah dengan Ayah." Sesudah mengucapkan ini, dia meninggalkan tempat itu. Dia membawa sebuah Al-Quran. Tetapi beberapa saat sebelum dia pergi, ibunya memberi sebuah cincin yang sangat berharga yang dapat dijual saat terdesak. Dilangkahkannya kakinya menuju Basrah dan mulailah ia bekerja sebagai buruh. Dia hanya bekerja seminggu sekali dan harus mencukupkan diri dengan pendapatan satu hari untuk delapan hari. Dia memperoleh sekitar Rp 206 jika dirupiahkan lebih sedikit untuk pekerjaannya dan tidak meminta lebih dari itu. Dia membelanjakannya sangat sedikit, demi mempertahankan hidup.

Abu Amir Basri bercerita bahwa salah satu dinding rumahnya telah runtuh dan dia sedang mencari seorang tukang batu untuk membangunnya lagi. Dia melihat seorang pemuda tampan sedang duduk dan membaca Al-Quran. "Maukah kau bekerja untukku?" dia bertanya kepada anak itu. "Ya, aku mau. Manusia dilahirkan untuk mendapatkan nafkah dari keringatnya sendiri. Apa yang dapat aku kerjakan untukmu?" Abu Amir berkata: "Aku menginginkanmu bekerja mengaduk semen." "Baik, aku minta Rp 206 untuk upah harianku, dan tidak bekerja selama waktu shalat." Abu Amir menerima kedua syarat ini.

Sadar bahwa beban pekerjaan yang diselesaikan anak muda itu tidak mungkin dikerjakan oleh sepuluh orang, Abu Amir memberikan Rp 412 lebih banyak dari yang ditetapkan. Tapi, anak itu malah menolak dan pergi sesudah mengambil jumlah yang telah disepakati.
Hari berikutnya, Abu Amir mencari lagi anak itu, tetapi ia tidak menemukannya. Dia bertanya kepada setiap orang, apakah mereka dapat menceritakan siapa gerangan anak muda itu. Seseorang memberitahunya: "Pemuda itu hanya bekerja pada hari Sabtu."

Setelah menilai pekerjaan anak muda itu, Abu Amir begitu terpikat sehingga rela menghentikan pekerjaannya selama seminggu. Pada hari Sabtu, dia mulai mencari lagi anak itu. Dia melihatnya sedang membaca Al-Quran, seperti kala itu. Dia menyalaminya dan bertanya apakah dia mau bekerja lagi untuknya atas dasar persyaratan yang disepakati.

Karena heran dengan banyaknya pekerjaan yang diselesaikan anak itu, Abu Amir menjadi penasaran dengan cara kerjanya. Ia pun mengintip anak itu ketika sedang bekerja. Dia melihat dengan penuh keheranan bagaimana, ketika anak itu merekatkan adukan di dinding, batu-batu yang ada di tanah menyusun sendiri secara otomatis. Abu Amir meyakini bahwa anak muda itu pastilah orang saleh, karena hanya orang sucilah yang memiliki kekuatan gaib dalam pekerjaannya. Setelah anak muda itu selesai, Abu Amir memberinya tiga rupee, tapi anak muda itu menolak menerimanya sembari menegaskan kalau dia tidak membutuhkan uang tambahan. Dia mengambil uang satu rupee dan pergi.

Abu Amir menunggunya hingga hari Sabtu lagi. Tetapi kali ini, setelah berusaha mencari, jejak anak ini tidak tampak. Dia menanyakan pada beberapa orang, dan seorang laki-laki memberitahunya bahwa pemuda itu sedang terbaring sakit di dalam hutan. Abu Amir mengajak lelaki itu mencari si pemuda.

Sampailah mereka di hutan. Abu Amir melihat anak muda itu terbaring di atas tanah setengah sadar, berbantalkan sepotong batu bata. Dia menyalaminya, tetapi tidak mendapat jawaban. Sekali lagi dia menyapanya, dan pemuda itu membuka matanya seolah sudah tahu bakal kedatangan orang. Abu Amir mengangkat kepalanya dan meletakkannya di pangkuannya. Anak muda itu tiba-tiba marah atas perbuatan itu. "Jangan tertipu kenyamanan duniawi! Kehidupan akan segera berakhir dan kita akan berpisah dengan kenyamanan itu. Ketika seseorang meninggal dunia, peringatkan dirimu bahwa suatu hari kamu juga akan menemui akhirat. Nanti, jika rohku telah meninggalkan kerangka yang fana ini, tolong mandikan aku dengan baik dan kuburkan aku setelah membungkus badan ini dengan pakaian yang sedang aku kenakan."

Abu Amir bertanya, "Mengapa tidak aku bawakan sebuah kain kafan yang pas untukmu?" Dia berkata, "orang-orang yang hidup lebih berhak memanfaatkan pakaian yang baru." (Inilah juga yang diutarakan Abu Bakar Shiddiq saat dia mau meninggal dunia. Dia katakan bahwa dia harus dikuburkan sesudah dibungkus dengan pakaian yang sedang dia kenakan.) Anak muda itu berkata: "Lama atau baru, kain kafan akan menjadi usang. Yang seseorang bawa ke akhirat adalah amal perbuatannya. Berikan serban dan tempat airku kepada penggali kubur sebagai upahnya dan bawalah cincin dan Al-Quran ini kepada Raja Harun ar-Rasyid. Jagalah baik-baik dan serahkan sendiri barang-barang ini kepada Raja. Beri tahu Raja bahwa barang-barang ini ditinggalkan seorang anak pengembara. Beri tahu dia supaya berhati-hati terhadap kematian dan kelalaian."
Setelah mengatakan hal itu, roh pemuda itu terbang menuju surga.

Abu Amir baru menyadari bahwa pemuda itu seorang pangeran. Dia melaksanakan permintaan terakhir pemuda itu, ia lalu menguburkannya. Dia memberikan serban dan tempat air kepada penggali kubur dan membawa Al-Quran dan cincinnya ke Baghdad. Ketika sampai di dekat istana, dia melihat suatu rombongan keluar dari istana. Abu Amir berhasil menemukan podium yang tinggi di mana dia dapat menyaksikan apa yang sedang terjadi. Dia melihat prosesi angkatan bersenjata yang terdiri dari seribu tentara berkuda. Prosesi ini keluar satu per satu. Dan, pada barisan ke sepuluh, dia melihat Raja keluar. Maka berteriaklah Abu Amir: "Demi Tuhan, berhenti dan dengarlah apa yang akan aku katakan atas nama Nabi yang suci!"

Mendengar ucapan itu, Raja memperhatikannya. Cepat-cepat Abu Amir menuju ke arah Raja dan berkata: "Barang-barang ini diberikan kepadaku oleh seorang anak pengembara yang memintaku untuk menyerahkannya kepada Anda." Raja melihat barang-barang yang rasanya pernah akrab dengannya itu. Setelah beberapa saat, ia menundukkan kepala dengan penuh linangan air mata. Raja meminta seorang pesuruh untuk menjaganya sampai dia kembali.

Ketika Raja kembali ke istana, ia memerintahkan agar tirai-tirai di kamarnya diturunkan. ia berkata: "Panggil orang itu agar aku dapat meringankan beban dukaku." Pesuruh itu pergi ke Abu Amir dan memberitahukan bahwa Raja ingin ditemani olehnya. Namun demikian, Abu Amir memperingatkan dirinya sendiri bahwa Raja sedang sedih dan dia harus menjaga kata-katanya kalau berbicara dengannya.

Sampai di kamar Raja, Abu Amir melihat Raja sedang duduk seorang diri. Raja meminta agar dia mendekat dan duduk di sebelahnya. Raja bertanya apa yang anaknya sering kerjakan.

Abu Amir memberitahukan kalau dia sering mencari nafkah dan bekerja sebagai tukang batu. "Apakah dia bekerja untukmu?" tanya Raja. "Ya," jawab Abu Amin Raja berkata: "Tidak tahukah kamu kalau dia berhubungan dekat dengan Nabi?" (Raja adalah keturunan Abbas ibn Abd al-Muthalib, paman Nabi). Abu Amir menyesal tidak tahu apa pun tentang anak itu saat dia bertemu dengannya dulu. Kemudian Raja bertanya apakah dia yang memandikan anaknya. Abu Amir mengiyakan. Raja menyentuh tangannya dan menggenggamnya erat-erat ke dadanya. Ketika itulah ia menyenandungkan bait ini:

Hatiku mulai luluh, mengenang sang pengembara kesepian yang jauh dariku
Meskipun begitu, dukanya sungguh memenuhi hatiku
Kematian, tak pelak, memporandakan kenyamanan kita
Wahai pengembara, wajahmu adalah secercah cahaya rembulan Yang menempel pada lehermu nan jenjang dan berkilau
Kubur telah menelan sepotong bulan, bulan atau cahaya bulan

Selanjutnya, Raja Harun ar-Rasyid menziarahi kuburan anaknya, ditemani Abu Amir. Ketika mereka sampai di tempat itu, Raja melantunkan syair berikut ini:

Betapa besar keinginanku
Berjumpa dengan sang pengembara yang tak akan pernah kembali
Kematian terlalu dini menjemputnya
Engkau adalah cahaya kedua mata ini
Hatiku tergetar oleh cintamu
Dan ayahmu ini, aku akan segara merasakan Cawan Kematian dalam usia uzurnya
Sedang engkau dalam usia mudamu mendahului merasakannya
Cepat atau lambat siapa pun harus menerima cawan itu
Di mana pun ia berada, di hutan atau di kota
Kita hanya dapat memuji Tuhan
Dan dialah yang menentukan perilaku kita

Melanjutkan ceritanya, Abu Amir berkata bahwa setelah memanjatkan doa-doa di malam hari, dia tidur dan bermimpi melihat sebuah sumber cahaya yang berubah menjadi suatu awan keperakan. Dilihatnya wajah pemuda pengembara itu keluar dari awan. Pemuda itu menyapa dia dan berkata: "Aku berdoa semoga Allah membalas kebaikan yang telah engkau lakukan untukku." Abu Amir bertanya bagaimana keadaannya setelah mengucapkan selamat tinggal kepada dunia yang fana ini. Pemuda itu berkata bahwa dia dikelompokkan ke dalam orang-orang yang diberkati, dan dia menikmati rahmat itu yang tak satu pun manusia dapat mengerti atau memahaminya.

Abdullah ibn Mas'ud berkata: Orang yang dapat menahan tidur dan melakukan shalat sepanjang malam telah dijanjikan hal-hal semacam itu (seperti pemuda tersebut) oleh Allah. Menurut Al-Quran, tak seorang pun pernah memimpikan kesenangan yang diperuntukkan bagi orang-orang yang diberkati di akhirat kelak.


Menurut kisah yang lain, ketika seseorang bertanya kepada Raja Harun ar-Rasyid tentang anaknya, dia berkata: "Anak itu lahir jauh sebelum aku menjadi raja. Anak itu benar-benar mengetahui Al-Quran dan cabang ilmu pengetahuan lainnya. Ibunya telah memberinya sebuah cincin yang berharga yang tak dapat dia manfaatkan dan dikembalikannya sebelum dia meninggal. Dia sangat patuh kepada ibunya."


Demikian kisah renungan mengenai putra Harun Ar-Rasyid, semoga dapat kita renungkan betapa hinanya dunia ini. Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari cinta dunia yang berlebihan. Share jika anda rasa bermanfaat. Baca juga kisah seorang pemuda yang mendapat istana di surga.